Fikih Kebencanaan: Menyikapi Bencana dalam Sudut Pandang Agama


Bencana merupakan fenomena yang kerap terjadi dalam kehidupan manusia. Bencana dapat disebabkan karena kejadian-kejadian alam, seperti tsunami, erupsi gunung berapi, gempa bumi, tanah longsor, banjir, kekeringan dan lain sebagainya. Bisa juga bencana diakibatkan karena ulah manusia itu sendiri, seperti kegagalan tekhnologi, wabah, teror, konflik sosial, kerusuhan dan lain-lain. Adapun definisi bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan menganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor alam ataupun non alam, sehingga menyebabkan adanya korban jiwa, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis.


Al-Qur’an menyebutkan bencana dengan berbagai istilah yang memiliki kekhususan dan konteks yang berbeda-beda. Diantara istilah-istilah yang ada dalam al-Qur’an adalah musibah (bencana yang menimpa manusia). Dalam istilah al-Qur’an apapun yang menimpa manusia disebut dengan musibah, baik itu merupakan suatu kebaikan atau keburukan. Seperti dalam Q.S al-Hadid 22-23 yang artinya “(22) Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuz) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (23) (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri”.


Al-Qur’an juga menyebutkan dengan istilah bala’ (bencana yang menjadi ujian). Bala’ merupakan ujian atau cobaan yang Allah berikan kepada manusia untuk memperteguh keimanan baik berupaka kebaikan (al-hasanat) atau keburukan (as-sayyiat), seperti yang telah disebutkan dalam Q.S al-A’raf 168 yang artinya “Dan Kami bagi-bagi mereka di dunia ini menjadi beberapa golongan; di antaranya ada orang-orang yang saleh dan di antaranya ada yang tidak demikian. Dan Kami coba mereka dengan (nikmat) yang baik-baik dan (bencana) yang burukburuk, agar mereka kembali (kepada kebenaran)”. Allah telah memberikan petunjuk bagi manusia dalam menyikapi bala’, yaitu dengan bersyukur apabila berupa kabaikan dan bersabar apabila berupa keburukan.


Selanjutnya adalah fitnah (bencana sosial). fitnah yang disebutkan al-Qur’an mengacu pada peristiwa-peristiwa sosial bukan peristiwa alam. Fitnah diartikan sebagai sebuah peristiwa yang berasal dari hubungan antara manusia dengan manusia lainnya yang memunculkan dampak negatif baik berupa kematian, ketakutan, kesesatan dan kericuhan, seperti yang disebutkan dalam Q.S at-Taghabun 15 yang artinya “Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar”.


Lantas bagaimana kita sebagai seorang muslim menyikapi bencana yang terjadi? Dalam memandang bencana, yang perlu diutamakan adalah konsep mengenai sifat rahmah (kasih dan sayang) Allah. Sifat raḥmah Allah akan membentuk sebuah sikap yang merupakan tujuan puncak dalam Islam, yakni kebaikan dan keadilan. Konsep tersebut akan melahirkan pemahaman bahwa Allah selalu baik dan adil, sehingga apapun yang menjadi kehendak Allah merupakan suatu kebaikan. Inilah esensi Allah sebagai rabb yang rahman dan rahim. Pada dasarnya semua peristiwa yang terjadi pada manusia merupakan ujian dan cobaan atas keimanan dan perilaku manusia. Peristiwa yang merupakan musibah merupakan ketetapan dan ketentuan Allah (takdir) yang didasarkan pada rahman dan rahim Allah dalam rangka untuk kebaikan manusia agar kembali pada ketetapan Allah.


Bencana bukan merupakan bentuk amarah dan ketidakadilan Allah kepada manusia, justru sebaliknya bencana merupakan bentuk kebaikan dan kasih sayang (rahmah) Allah kepada manusia. Seperti yang telah disebutkan dalam Q.S al-Baqarah 156-157 yang artinya “(156) (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun”. (157) Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk”.


Dengan demikian, bencana merupakan media untuk bermuhasabah atas perbuatan yang telah manusia lakukan selama ini. Muhasabah di sini bukan hanya sebatas pada ranah teologis saja, yaitu menyadari kesalahan atau dosa-dosa yang telah diperbuat. Melainkan juga dosa sosiologis yaitu keteledoran manusia dalam berbuat kepada sesama manusia atau kepada alam. Cara pandang seperti inilah yang akan melahirkan sikap bijaksana dalam menjalin hubungan dengan sesama manusia maupun dengan alam. Dalam konteks ini, bencana apapun yang terjadi bukan serta merta merupakan azab, tetapi harus dilihat konteksnya yang lebih luas. Jika mengacu pada pengertian di atas bencana lebih merupakan media untuk berbenah, dan ini merupakan salah satu bentuk kasih sayang Allah kepada manusia yang berupa ujian dan cobaan sehingga nantinya manusia akan mampu memperbaiki kesalahan-kesalahannya dan mampu menjadi manusia yang taat kepada Allah juga bermanfaat bagi alam semesta.


Ditulis oleh:
Alfandi Ilham S.Ag – Anggota Majelis Tarjih PDM Sleman & Pengasuh MCC LKSA Ashabul Kahfi Moyudan

Scroll to Top